Science is fact..more and more science is spread, the faster it develops and hopefully can be used to create a better life. In this blog I write science interesting to me. Finally, I wish you good reading and enjoying this blog :).
RSS

Rabu, 27 Januari 2010

Kartika Senjarini - Mengisolasi Ludah Nyamuk

Pulang ke Indonesia tahun 2007, Kartika Senjarini yang secara cum laude meraih gelar doktor rerum naturalium tertegun memikirkan apa yang bisa ditelitinya di Tanah Air.

Alumnus University of Rostock, Institute of Biosciences, Aquatik Ecology, Jerman, ini benar-benar ingin bisa melakukan penelitian yang dapat memberi solusi bagi bangsa. "Saya kemudian menjelajahi internet dan memantau apa saja yang sudah ada risetnya di dalam negeri dan memerhatikan topik serupa di luar negeri," kenang Tika, begitu ia akrab disapa.

Penelusuran Tika memperlihatkan betapa besarnya masalah kesehatan yang bersumber dari nyamuk malaria dan dengue. Perempuan berkerudung kelahiran Situbondo, 13 September 1975, ini lantas menimbang mana yang paling mungkin ditelitinya. "Dengan keterbatasan fasilitas laboratorium di Universitas Negeri Jember, saya dapat meneliti malaria," katanya.

Tika memfokuskan perhatiannya pada penyakit yang masih mengusik banyak penduduk Indonesia itu. Dengan latar belakang keahliannya, ia mencoba membuat vaksin malaria. "Saya terpikir untuk mengembangkan vaksin, tetapi tidak dengan objek parasit," jelas dosen Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Jember, Jawa Timur, ini. Tika memilih bekerja dengan memanfaatkan bagian tubuh nyamuk anopheles pembawa bakteri plasmodium malariae. Ia berkutat di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit, Salatiga, untuk mengisolasi ludah nyamuk. Sulit sekali mengambil saliva dari lidah kecil nyamuk," komentarnya.

Bukan pertama

Sebetulnya, Tika bukan orang pertama yang menjajaki pendekatan tersebut. Peneliti mancanegara sejak tahun 2005 sudah ada yang melirik saliva nyamuk sebagai bahan pembuatan vaksin malaria. "Ironisnya, di kawasan-kawasan rawan malaria, justru negara asing yang mengambil peran sebagai peneliti," sesal Tika.

Di Afrika, misalnya, ilmuwan Prancis yang melakukan riset dengan sampel penyakit malaria setempat. Lalu, di Amerika Selatan, peneliti Amerika Serikat yang aktif mengamati kasus malaria. "Di Indonesia, penelitian vaksin malaria harus dimulai," cetus ibu dari putri kembar berusia enam tahun. Asiyah Tatsbita Dina dan Aisyah Alima Dina, ini. Di Indonesia, hidup 24 vektor malaria. Nyamuk yang keluyuran di malam hari itu sebelumnya baru diteliti dengan pendekatan epidemiologi. "Penelitian dengan tema lain belum menggunakan teknologi tinggi," kata istri Wheny Khristianto yang sempat menjadi anggota aktif Forum Lingkar Pena (FLP) cabang Eropa ini.Tika mantap menggarap pembuatan vaksin dengan menggunakan apa yang ada di tubuh nyamuk setelah membaca sebuah jurnal penelitian di Afrika yang dilansir tahun 2007. Riset tersebut memperlihatkan orang yang pernah terkena gigitan nyamuk anopheles yang tak membawa parasit pemicu malaria lebih tahan terhadap serangan plasmodium. "Temuan itu membuat saya penasaran, faktor apa yang ada di ludah nyamuk yang dapat meningkatkan reaksi imunitas," katanya.

Lantas, Tika membuat proposal penelitian. Rencana proyek penelitian itu rupanya tak langsung mendapat dukungan penuh. Beberapa sesepuh peneliti malaria bereaksi negatif. "Idenya dianggap bagus, tapi mereka menyangsikan keberhasilan penelitiannya," ungkap Tika yang menempuh pendidikan Sl di Universitas Brawijaya, Surabaya, ini.

Para peneliti senior itu berpendapat, pembuatan vaksin malaria jauh dari kata gampang. Sebab, siklus parasit sangat kompleks. "Biarpun sulit, tetapi harus dimulai," kata Tika yang mendapatkan bantuan alat untuk mendirikan laboratorium mikrobiologi di tempatnya mengajar dari Jerman.

Peran saliva

Saliva nyamuk diketahui berperan dalam proses menggigit dan menjadi media masuknya plasmodium ke tubuh inang, manusia. Kalaupun ternyata ludah nyamuk justru memperlancar transmisi plasmodium, penelitian Tika tetap ada gunanya. "Itu artinya kami dapat mencari zat antinya, yakni vaksin pemblokir transmisi plasmodium alias transmission blocking vaccine (TBV)," urai Tika yang meraih gelar master dari Institut Teknologi Bandung (ITB).

Nada optimis terus digaungkan Tika menyusul keberhasilan peneliti asing membuat vaksin berbasis vektor serangga. Perempuan berusia 34 tahun ini menduga, bisa jadi itu juga dapat dihasilkan dari bagian tubuh nyamuk malaria. "Saya senang sekali ketika akhirnya ada pihak lain yang menghargai ide penelitian ini," akunya.

Tika bersyukur karena ia tidak patah arang di dua tahun pertama persiapan dan pengajuan proposal penelitiannya. Setahun setelah laboratoriumnya rampung, tahun 2008 tim dari Depkes memberi apresiasi positif. Pada tahun yang sama, Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas juga menyokong pendanaan riset vaksin malaria berbasis ludah nyamuk anopheles.

"Baru-baru ini, LOreal-UNESCO for Woman in Science 2009 menerima proposal penelitian saya bertajuk Karakterisasi Molekular Faktor Imunomodulator Kelenjar Saliva Vektor Malaria Anopheles Aconitus sebagai Target Potensial dalam Pembuatan TBV Melawan Malaria," katanya gembira. Jika berhasil diketemukan, lanjut Tika, TBV akan melindungi inang (manusia) terhadap patogen yang dibawa vektor. Tidak cuma itu, penemuan ini juga akan mampu memotong transmisi malaria. "Vaksinasi akan menjadi strategi yang efektif untuk mengatasi epidemi madasnya.

Oleh Reiny Dwinanda
Sumber: Republika, Minggu 13 Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar