Science is fact..more and more science is spread, the faster it develops and hopefully can be used to create a better life. In this blog I write science interesting to me. Finally, I wish you good reading and enjoying this blog :).
RSS

Minggu, 21 Maret 2010

Muhammad Natsir: Pahlawan dan Pendidik Teladan

Muhammad Natsir merupakan tokoh teladan&inspiratif, aku sangat tertarik dengan artikel2 tentangnya. Berikut salah satu artikel M. Natsir yang diambil dari koran republika-islam digest-hujjatul islam, minggu, 21 Maret 2010 yang ditulis oleh oleh Dr Adian Husaini.

Hampir sepanjang hidupnya, Natsir tidak pernah lepas dari aktivitas pendidikan.

Imam al-Syafii terkenal dengan ucapannya bahwa seseorang tidak akan dapat meraih ilmu kecuali dengan enam hal, yakni: rakus terhadap ilmu, kesungguhan, sabar, pengorbanan biaya, bimbingan guru, dan waktu yang panjang. Juga, kata Imam Syafii mengutip petuah gurunya, Waqi', ''Ilmu adalah cahaya. Dan, cahaya Allah SWT tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.''

Banyak orang mengenal Muhammad Natsir sebagai tokoh teladan dalam politik, negarawan, dan dakwah. Namun, tidak banyak yang mengenalnya sebagai guru dan pendidik sejati. Padahal, kiprahnya dalam dunia pendidikan di Indonesia sangatlah fenomenal. Bisa dikatakan, hampir sepanjang hidupnya, Natsir tidak pernah lepas dari aktivitas pendidikan. Selain amat concern dengan nasib pendidikan rakyat jelata yang tak punya hak pendidikan di masanya, saat menjadi perdana menteri, salah satu prestasinya adalah keputusan untuk mewajibkan pelajaran agama di sekolah-sekolah umum.

Adalah menarik menelaah riwayat pendidikan dari sosok Pahlawan Nasional yang lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat, 17 Juli 1908, ini. Tahun 1916-1923, Natsir memasuki Hollands Inlandsche School (HIS), di Solok. Sore harinya, ia menimba ilmu di Madrasah Diniyah. Tahun 1923-1927, Natsir memasuki jenjang sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), di Padang. Lalu, tahun 1927-1930, ia memasuki jenjang sekolah lanjutan atas di Algemene Middelbare School (AMS), di Bandung.

Natsir terlahir dari pasangan suami-istri Idris Sutan Saripado dan Khadijah. Kehidupan keluarganya sangat sederhana, dengan tradisi keislaman yang kuat. Hasratnya mencari ilmu agama sangat membara sehingga dengan cepat mengusai bahasa Arab dan ilmu-ilmu lain. Dalam waktu singkat, ia pun sudah bisa membaca 'kitab kuning'. Menurut Natsir, sejak kecil dirinya memang ingin menjadi seorang Meester in de Rechten (Mr), satu gelar yang dipandang hebat kala itu.

Natsir sepertinya menetapi jalan pencari ilmu sebagaimana dinasihatkan Imam Syafii. Dalam sebuah memoar, Natsir menceritakan tentang pendidikannya, ''Sampai di MULO, semuanya saya lalui dengan nilai baik. Malah, dapat beasiswa dua puluh rupiah sebulan. Bisa beli buku dan keperluan lain. Padahal, saya sekolah sambil cari kayu bakar, memasak, membuat sambal, dan mencuci pakaian sendiri. Masih sempat pula ikut pandu Nationale Islamitische Padvindrij (Natipij) dari organisasi pemuda Jong Islamieten Bond (JIB). Hingga akhirnya lolos masuk AMS di Bandung, juga dengan mendapatkan beasiswa sebesar tiga puluh rupiah sebulan. Di Bandung itulah saya berubah. Ternyata, yang bagus itu tak cuma meester.'' (Tempo, 2 Desember 1989).

Menilik sejarah hidupnya, Natsir bisa dikatakan sebagai seorang yang haus ilmu. Di AMS Bandung, ia segera mengejar ketertinggalannya dalam penguasaan bahasa Belanda--bahasa kaum elite terpelajar waktu itu--. Bahkan, ia juga mendapatkan angka tinggi untuk pelajaran bahasa Latin. Di AMS, tutur Natsir, ia diwajibkan membaca sekitar 36 buku dalam berbagai bahasa, hanya untuk menghadapi ujian satu mata pelajaran.

Di Kota Kembang ini pun Natsir terus mendalami agama, di samping belajar sungguh-sungguh di sekolah umum. Kegemarannya dalam membaca buku, mendorongnya menjadi anggota perpustakaan dengan bayaran tiga rupiah sebulan. Setiap buku baru yang datang, Natsir selalu mendapat kiriman dari perpustakaan. Ada tiga guru yang memengaruhi alam pikirannya, yaitu pemimpin Persis, A Hassan, Haji Agus Salim, dan pendiri al-Irsyad Islamiyah, Syech Akhmad Syoerkati. Natsir tertarik kepada kesederhanaan A Hassan, juga kerapian kerja dan kealimannya. Selain itu, A Hassan juga dikenal sebagai ahli perusahaan dan ahli debat.

Di Kota Bandung ini pula, Natsir aktif dalam organisasi Jong Islamiten Bond (JIB). Di sini, ia sempat berinteraksi dengan para cendekiawan dan aktivis Islam terkemuka, seperti Prawoto Mangkusasmito, Haji Agus Salim, dan lain-lain. Natsir juga sempat mengikuti organisasi Partai Syarikat Islam dan Muhammadiyah. Selain dalam bidang keilmuan, Natsir juga mulai terlibat masalah politik.

Sejak duduk di bangku sekolah AMS tersebut, Natsir sudah mulai terlibat dalam polemik tentang pemikiran Islam. Pengalaman pertama terjadi ketika semua teman kelasnya diundang oleh guru gambar untuk menghadiri pidato seorang pendeta Kristen bernama Ds Christoffels, pada tahun 1929. Pidatonya berjudul "Quran en Evangelie" dan "Muhammad als Profeet". Meskipun disampaikan dengan gaya yang lembut, Natsir melihat pidato si pendeta itu sesungguhnya menyerang Islam secara halus. Esoknya, pidato itu dimuat di surat kabar Algemeen Indish Dagblad (AID). Natsir kemudian menulis artikel yang menjawab opini sang pendeta, melalui koran yang sama.

Lulus dari AMS pada tahun 1930 dengan nilai tinggi, Natsir sebenarnya berhak melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum di Batavia, sesuai dengan keinginan orang tuanya agar ia menjadi Meester in de Rechten, atau kuliah ekonomi di Rotterdam. Terbuka juga peluang Natsir untuk menjadi pegawai negeri dengan gaji tinggi. Namun, Natsir tidak mengambil peluang kuliah dan menjadi pegawai pemerintah tersebut.

Ajip Rosidi, setelah lulus AMS (setingkat SMA), menulis tentang Natsir yang telah hidup mandiri. Ia tidak mau bekerja di pemerintahan. Padahal bila bekerja di pemerintahan, ia bisa dapat gaji cukup besar saat itu (paling kecil F 130; harga beras saat itu tidak sampai F 0,05/lima sen satu kilogram). (Lihat, Ajip Rosidi, M. Natsir, Sebuah Biografi (Jakarta: Girimukti Pasaka, 1990).

Jika dihitung dengan harga beras saat ini, sekitar Rp 5000/kg, gaji Natsir dapat mencapai Rp 13 juta/bulan. Gaji sebesar itu tidak diambilnya. Justru, Natsir memilih terjun langsung ke dalam dunia perjuangan. Ia pun memilih mendalami Islam dengan cara berguru kepada salah satu guru terbaik di zaman itu, yaitu A Hassan dan tokoh-tokoh perjungan lainnya. Jadi, Natsir bukanlah seorang 'otodidak', yang belajar sendiri tanpa guru. Pendidikan Natsir dilaluinya dengan berguru langsung pada guru-guru terbaik di zamannya.

Itulah kiprah pendidikan Natsir, yang haus ilmu dan kemudian mereguknya dalam-dalam dengan niat ikhlas untuk ibadah dan berjuang di jalan Allah SWT, bukan untuk mencari keuntungan duniawi. ed: rido

Penulis adalah ketua Program Studi Pendidikan Islam, Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor.


Merintis Sekolah Terpadu

Saat bergerilya di hutan-hutan belantara Sumatera, mempertahankan keyakinannya, Muhammad Natsir masih menyempatkan menulis surat untuk putra-putrinya. Sebuah suratnya bercerita, mengapa Natsir tidak tergiur untuk melanjutkan kuliah.

''Aneh! Semua itu tidak menerbitkan selera Aba sama sekali. Aba merasa ada satu lapangan yang paling penting daripada itu semua. Aba ingin mencoba menempuh jalan lain. Aba ingin berkhitmad kepada Islam secara langsung. Belum terang benar Aba pada permulaannya, apa yang harus dikerjakan sesungguhnya. Tapi, tanpa berpikir panjang, Aba memutuskan untuk tidak akan melanjutkan pelajaran ke fakultas mana pun juga. Aba hendak memperdalam pengetahuan tentang Islam lebih dulu. Sudah itu, bagaimana nanti.''

Menurut Natsir, problema utama umat Islam ketika itu adalah kebodohan terhadap agamanya sendiri. Untuk itu, Natsir mulai merintis pendidikan yang ia beri nama Pendidikan Islam (Pendis). Konsep Pendis sama dengan apa yang saat ini disebut sebagai Sekolah Islam Terpadu. Di samping itu, Natsir juga melakukan terobosan dengan memberikan pelajaran-pelajaran agama kepada murid-murid HIS, MULO, dan Kweekschool (Sekolah Guru). Tempat pertama kali yang mau menerimanya adalah MULO dan Kweekschool Gunung Sahari di Lembang. Ia mulai mengajarkan agama di sana.

Natsir tidak mengajar agama kepada murid-murid MULO dalam bahasa Melayu atau bahasa Sunda, melainkan dalam bahasa Belanda. Ia pun menyusun buku teks pelajaran agama dalam bahasa Belanda. Salah satu kumpulan naskah pengajaran yang kemudian dibukukannya atas permintaan Sukarno saat dibuang ke Endeh adalah Komt tot Gebeid (Marilah Shalat). Tampaknya, Natsir mencoba membuat citra Islam tidak identik dengan keterbelakangan. Sebab, ketika itu, bahasa Belanda memang menjadi salah satu indikator 'kemajuan' dan 'kemodernan'.

Di sekolah pendidikan Islam inilah, para murid digembleng ilmu-ilmu agama dan sikap perjuangan. Alumninya kemudian mendirikan sekolah-sekolah sejenis di berbagai daerah. Pilihan Natsir terkadang dihadapkan pada situasi sulit. Dalam surat-suratnya kepada anak-anaknya, saat dalam kondisi gerilya di hutan Sumatera Barat, Natsir menceritakan secara rinci kiprahnya dalam mengelola Pendis ini.

Natsir bukan hanya mengonsep kurikulum, mengajar, mengelola guru-gurunya, tapi ia juga harus berjuang mencari dana untuk sekolahnya. Bahkan, untuk menghidupi sekolah ini, kadang ia harus menggadaikan perhiasan istrinya. Kadangkala pula, ia harus pergi ke sejumlah kota untuk menarik sumbangan. Para siswanya juga diajar hidup mandiri agar tak bergantung pada pemerintah.

Di samping bergelut dengan persoalan-persoalan nyata dalam dunia pendidikan dan keumatan, Natsir juga terus-menerus menggali dan mengembangkan keilmuannya. Ia memang seorang yang haus ilmu dan tidak pernah berhenti belajar. Kecintaan Natsir di bidang keilmuan dan pendidikan, dibuktikannya dengan upayanya untuk merintis pendirian sejumlah universitas Islam. Setidaknya, Natsir terlibat dalam pendirian sembilan universitas, seperti Universitas Islam Indonesia (Yogyakarta), Universitas Islam Bandung, Universitas Islam Sumatera Utara, Universitas Islam Riau, Universitas Ibn Khaldun (Bogor), dan sebagainya.

Natsir yakin benar, pendidikan adalah kunci kebangkitan suatu bangsa. Dan, kuncinya terletak di tangan para guru. Karena itulah, kata Natsir mengutip pendapat Dr G Nieuwenhuis, ''Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.''

Kebetulan, sosok Natsir sendiri dibesarkan dalam 'dua dunia' sekaligus. Melalui guru-guru mengajinya waktu kecil, ia mempelajari Islam dengan baik. Meskipun bukan keluaran pesantren, Natsir memahami 'kultur pesantren'. Ciri pesantren tradisional, yakni 'belajar mandiri', telah dijalaninya, termasuk ketika belajar dengan A Hassan. Di sisi lain, ia menyerap dengan baik anasir-anasir pendidikan modern, mulai HIS, MULO, dan AMS.

Integrasi 'dua dunia' itu pun, dapat disatukan dengan baik dalam dirinya sendiri. Natsir adalah teladan; bagaimana belajar, bagaimana menjadi guru, dan bagaimana menjadi pejuang sekaligus. Natsir bukan sosok intelektual yang sok netral dalam memandang kebenaran. Ia seorang profesional modern, tapi tetap kokoh berpijak pada tradisi keilmuan Islam itu sendiri. Intelektualitasnya tidak menghalanginya untuk bersikap tegas dalam memihak kebenaran dan menolak kebatilan.